Senin, 27 Desember 2010

Arti, Pengertian, Definisi, Fungsi dan Peranan Koperasi

Arti, Pengertian, Definisi, Fungsi dan Peranan Koperasi / Koprasi Indonesia dan Dunia - Ilmu Ekonomi Koperasi / Ekop



Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Berikut di bawah ini adalah landasan koperasi indonesia yang melandasi aktifitas koprasi di indonesia.
- Landasan Idiil = Pancasila
- Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
- Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1
A. Fungsi Koperasi / Koprasi
1. Sebagai urat nadi kegiatan perekonomian indonesia
2. Sebagai upaya mendemokrasikan sosial ekonomi indonesia
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara indonesia
4. Memperkokoh perekonomian rakyat indonesia dengan jalan pembinaan koperasi
B. Peran dan Tugas Koperasi / Koprasi
1. Meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia
2. Mengembangkan demokrasi ekonomi di indonesia
3. Mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada


Sumber : http://organisasi.org/arti_pengertian_definisi_fungsi_dan_peranan_koperasi_koprasi_indonesia_dan_dunia_ilmu_ekonomi_koperasi_ekop

Kamis, 18 November 2010

Membuat Koperasi Eksis Tidak Hanya Pada 'HARI KOPERASI

KOPERASI MEWUJUDKAN KEBERSAMAAN DAN KESEJAHTERAAN: MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU

 
Membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah. Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam melawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.
Meskipun demikian di negeri kita sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada suatu kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan "makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran". Kondisi obyektif yang hidup dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memang memaksa kita untuk memilih menggunakan cara itu. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang menegakan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi "regulatory" dan "development". Tidak jarang peran ”development”  justru tidak mendewasakan koperasi.
Koperasi sejak kelahiranya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar "self help and cooperation" atau "individualitet dan solidaritet" selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995). Runtuhnya rejim sosialis Blok-Timur dan kemajuan di bagian dunia lainnya seperti Afrika telah menjadikan gerakan koperasi dunia kini praktis sudah menjangkau semua negara di dunia, sehingga telah menyatu secara utuh. Dan kini keyakinan tentang jalan koperasi itu telah menemukan bentuk gerakan global.
Koperasi Indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di Barat dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Krisis ekonomi telah meninggalkan pelajaran baru, bahwa ketika Pemerintah tidak berdaya lagi dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi. 
Di bawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di tanah air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan koperasi masih mampu menjangkau pelayanan kepada lebih dari 11 juta nasabah, jauh diatas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekalipun. Namun demikian karakter koperasi Indonesia yang kecil-kecil dan tidak bersatu dalam suatu sistem koperasi menjadikannya tidak terlihat perannya yang begitu nyata.
Lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi  yang sehat dan kokoh bersatu.
Menyambut pengeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :
­Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan bila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;
Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;
Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;
Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi "fair playing field";
Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);
Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;
Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.
Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah. Ada baiknya koperasi Indoensia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi (Adakah keberanian melakukan restrukturisasi koperasi oleh gerakan koperasi sendiri?)   
Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan "bersama dalam kesejahteraan" dan "sejahtera dalam kebersamaan”.



Dikutif dari :  Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia


Ekonomi Kerakyatan Koperasi Unit Desa



Nasib perekonomian warga pedesaan di Jawa Barat sejak era reformasi bergulir seakan tak pernah beringsut naik lebih baik. Bahkan seiring pergantian kepemimpinan, warga masyarakat pun melupakan lembaga ekonomi yang bernama Koperasi Unit Desa (KUD), karena pemerintah tak pernah serius membangkitkan warisan intelektual Bung Hatta tersebut.
Mungkin alasannya sebagai daerah yang tak layak jual, pedesaan sering kali dipandang sebelah mata.
Berbeda dengan perhatian lebih pada wilayah perkotaan yang memiliki nilai jual dan menghasilkan pendapatan (income) bagi daerah provinsi. Akibatnya, KUD sebagai warisan asli (genuine) masyarakat pedesaan meredup bak cahaya lilin yang terhembusi angin malam.

Teramat mengkhawatirkan sekali kalau kondisi demikian harus menimpa sebuah komunitas warga masyarakat yang sebagian besar menduduki wilayah Jabar ini. Sebab, tanpa penopang yang kokoh dalam mengembangkan sisi perekonomian secara kolegial dalam tradisi sosial warga pedesaan, tentunya akan berimplikasi pada penurunan keberdayaan warga untuk mempertahankan hidup.

Pertanyaannya, bagaimanakah dengan eksistensi KUD di tatar Sunda yang secara demografis warga pedesaan sebagai pengamal KUD banyak mendiami wilayah Jabar? Lalu, mengapa kecenderungan pemerintah lebih menganaktirikan warga pedesaan yang memiliki model perekonomian “nyunda” seperti terkandung dalam sebuah sistem perekonomian kolegial koperasi? Lantas, prioritas macam apakah yang mesti dilakukan oleh para pemimpin berkenaan dengan pemeliharaan koperasi di wilayah Jabar, khususnya bagi warga pedesaan?

Menegasikan privatisasi modal
Dalam sistem sosial-ekomomi warga Sunda, sejak tahun 1940-an, ketika akan menghadapi musim paceklik (halodo) kita mengenal tradisi perekonomian “nyunda” yang mencerminkan prinsip kekeluargaan (kolegial). Yakni adat kebiasaan dalam mengumpulkan beras sekitar satu canting (baca: satu sendok) oleh kepala keluarga setiap bulan dan dikumpulkan di lumbung desa serta terkenal dengan istilah “beas perelek” (Harry Hikmat, 2004: 140).

Model perekonomian yang mengandung nilai kebersamaan ini adalah satu dari sekian banyak ciri khas perekonomian warga yang berkarakter “nyunda”. Sama persis dengan konsep perekonomian yang terkandung dalam gagasan Koperasi Unit Desa dengan azas kekeluargaannya.
Hal ini pun mengindikasikan bahwa secara ekonomis karakteristik warga Sunda menganut azas kekeluargaan dan atas pertimbangan rasa solidaritas sosial. Bahkan saking kuatnya rasa solidaritas perekonomian masyarakat Sunda, ketika membangun rumah, misalnya, masih ada sampai sekarang warga yang ”sabilulungan” kerja bakti bergotong royong secara suka rela.

Meskipun secara kuantitas, seiring perkembangan zaman ke arah peradaban “materialistik”, jumlahnya bisa dihitung jari karena semakin meluasnya kebutuhan hidup masyarakat. Budaya hidup seperti inilah yang telah lekang dimakan usia, dan ditinggalkan “ruang-waktu” sehingga ketika melakukan aktivitas perekonomian, warga pedesaan pun cenderung memprivatisasi modal.
Kekayaan tak mau dibagi-bagi, dalam hal ini untuk memberdayakan kualitas perekonomian warga di sekitar sekalipun. Maka, bermunculan “kelas-kelas” dalam stratafikasi sosial masyarakat pedesaan, meminjam istilah bahasa Sunda bertebarannya “jalma jegud”, yakni seorang warga yang menguasai kekayaan di salah satu daerah perkampungan. Sebenarnya, tujuan Bung Hatta mendirikan Koperasi adalah untuk mengikis habis sikap dan tindakan menguasai (privatisasi) modal oleh segelintir individu warga masyarakat.
Jadi, meskipun istilah “jalma jegud” ada, dengan konsep perekonomian kolegial yang digagas oleh koperasi akan berimplikasi positif terhadap kesadaran orang-orang kaya ketika menyaksikan kondisi perekonomian warga sekitarnya. Alhasil, kekayaan tidak berputar di sekitar itu-itu saja. Namun, karena sikap hidup masyarakat telah berubah 180 derajat dari kondisi warga “nyunda” ke kondisi mekanistik, maka yang muncul adalah solidaritas sosial yang mekanik, bahkan hanya terikat oleh ikatan profesi semata.

Seperti yang tercermin pada karakteristik perekonomian warga perkotaan yang cenderung ind ividulasitik. Karena itu, menegasikan privatisasi modal sebagai imbas dari menjamurnya konsep perekonomian “neo-liberal” di zaman, katanya, modern ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, tanpa adanya distribusi yang adil disinyalir akan banyak bertebaran kesetimpangan, ketidakadilan, dan ketertindasan masyarakat “grassroot”, dalam hal ini adalah menggejalanya kemiskinan warga di pedesaan.
Karena itu, jangan pernah kita, meminjam istilah Hikmat Budiman dalam bukunya Lubang Hitam Kebudayaan (2003), mengalami “amputasi sosial”. Sebab, sikap dan tindakan perekonomian pun akan mencerminkan kelumpuhan “sense of crisis” ketika berlalu lalang dengan warga di pedesaan yang sedemikian kalut menghadapi karut-marut kehidupan.

Prioritaskan
Meskipun ada suntikan dana dari Pusat untuk menanggulangi kemiskinan, kerap kali disalurkan dengan tata cara yang “tak tepat sasaran”. Misalnya, pemberian bantuan tunai langsung (BLT) pada warga hanya diberikan secara langsung per bulan untuk dihabiskan, tanpa ada upaya pengembangan keterampilan hidup. Dalam kondisi demikian, warga pedesaan tidaklah membutuhkan uang ratusan ribu yang hanya bisa dinikmati dalam hitungan hari saja. Namun, memerlukan sebuah lembaga yang bisa mengangkat kondisi perekonomian setiap kepala keluarga yang telah sedemikian psusing dengan kesemrawutan hidup.

Yang pasti, eksistensi KUD kreatif dan inovatif dalam konteks lokal Jawa Barat sangatlah diperlukan oleh warga pedesaan. Sehingga dengan berbagai bentuk pelayanan berkualitas, perekonomian warga pun bisa terangkat ke posisi teraman dan mampu menghindar dari ancaman lubang menganga bernama degradasi ekonomi. Seandainya pemerintah provinsi Jabar bisa menauladani PSSI dalam menghapus “zona degradasi tim sepakbola”, misalnya, dan diterapkan dalam sebuah kebijakan atraktif menghapus “degradasi perekonomian”, saya kira riuh gemuruh tepuk tangan pun akan terus-menerus terdengar.
Maka, saya kira perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan tradisi perekonomian yang berprinsip kekeluargaan dan kebersamaan untuk saat ini mesti diprioritaskan, dalam hal ini keberlangsungan peran KUD dalam kehidupan praktis masyarakat. Sebab, sebagai sebuah konsep perekonomian rakyat, KUD adalah semacam perangkat yang tepat untuk mengembangkan kualitas hidup warga pedesaan.
Tak arif rasanya kalau eksistensi warga pedesaan hanya dijadikan “komoditas politik” sebagai kantong perolehan suara oleh para pengusung calon Gubernur dan Bupati setiap kali pemilihan berlangsung. Namun sayangnya, setelah pemilihan berakhir, maka warga pedesaan pun kembali terlupakan. 


 
Sumber: Kabar Indonesia 
Sukron abdilah
http://www.dataworks-indonesia.com/resource/cooperative/index.php?act=article&id=590&title=Artikel%20Tentang%20Koperasi&title2=Ekonomi%20Kerakyatan%20Koperasi%20Unit%20Desa


MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT




Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.

a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)

Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) : 
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.  Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.  Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.  Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit. 
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.  Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.  Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini.  Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis.  Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.  Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi”  atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses.  Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas.  Pola yang tidak hanya  ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.  Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

b. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI

Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup

 

1.     Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
2.     Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
3.     Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. 
4.     Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
5.       Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri. 

6.      Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya. 

c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
7. Peningkatan Citra Koperasi
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi


Dikutif dari : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.htm



Pinjaman macet Rp.9,46 miliar


Pemkot Batam bentuk BLU untuk tangani dana bergulir



BATAM : Total tunggakan pinjaman lunak bergulir bagi koperasi dan usaha mikro kecil di kota Batam sekitar Rp.9,46 niliar dari total dana yang disalurkan Rp.17,2 miliar peridoe tahun 2001-2010.

Febrialin, kepala dinas pemberdayaan masyarakat, pasar, koperasi, Usaha kecil dan menengah kota batam, mengakui program dana bergulir yang diselenggarakan oleh intansinya masih mengalami banyak masalah, diantaranya nilai tunggakan yang terus membengkak.
Dia menyadari pola penyaluran melalui chanelling tidak efektif untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sehingga dana bergulir bisa dikembalikan dan digulirkan kembali kepada usaha yang lain.
Febrialin menjelaskan, solusi untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut adalah membentuk sebuah lembaga khusus yang bertanggung jawab dalam penyaluran, pendampingan, dan pemungutan kembali dana bergulir yang telah disalurkan kepada pengusaha kecil dan koperasi.
Lembaga ini bisa berbentuk badan layanan umum (BLU), polanya seperti bank agar dana yang dikembalikan pleh masyarakat bisa cepat digulirkan lagi.
Dia optimis melalui pembentukan lembaga khusus itu, tingkat kemacetan pinjaman bisa dikurangi dan tujuan pemberdayaan usaha masyarakat tercapai. Walaupun sebenarnya program seperti ini selalu bermasalah dihampir semua daerah, kami tentu ingin mengubah pola yang ada agar menjadi lebih efektif dan afisien.
Menyinggung dugaan banyaknya usaha fiktif yang mendapat penyaluran dana program ini, Febrialin tidak menampik hal tersebut. Pada masa awal penyaluran program ini, memang banyak usaha fiktif yang muncul karena adanya program dana bergulir ini. Akan tetapi kami berupaya lebih selektif untuk menekan angka kemacetan pinjaman tegasnya.


Dikutif dari Bisnis Indonesia, oleh Suyono Saputra